Sabtu, 25 Agustus 2012

PURA PULAKI





Pura pulaki
Perjalanan kami selanjutnya ke Bali Utara yaitu ke pura Pulaki  yang terletak di utara pulau Bali tepatnya di desa Banyupoh kecamatan Gerokgak kabupaten Buleleng,53 km sebelah Barat Singaraja. Lingkungan pura ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk dan oleh karenanya sangat mudah dicapai oleh segala jenis kendaraan bermotor   Pura kahyangan ini di samping sebagai pemujaan Ida Sanghyang Widi Wasa dalam perwujudan  Manife stasi Nya, pura Pulaki juga tempat memuja arwah suci dari Sri Patni Kaniten istri dari Danghyang Nirartha  yang di beri gelar “Bhatari Dalem Ketut”. Dalam Dwijendra Tattwa di ceritakan mengenai perjalanan Danghyang Dwijendra dari Blambangan ke Bali beliau istri Danghyang Nirartha Sri Patni Kaniten yang berasal dari Blambangan bergelar Mpu Istri Ktut dalam keadaan payah menyembah Danghyang Nirartha dan berkata, "Mpu Danghyang, dinda tidak kuasa lagi melanjutkan perjalanan dan rasanya ajal hamba sudah tiba, karena itu ijinkanlah dinda sampai disini saja mengiringi Mpu Danghyang,begitu permintaan istri beliau.      Dengan hormat serta kerendahan hati yang tulus iklas dinda mohon agar diberikan ajaran ilmu gaib sebagaimana yang sudah diberikan kepada anaknda Ni Ayu Swabhawa, agar adinda dapat terlepas dari segala dosa dan kembali menjadi Dewa," demikian permohonan Mpu Isteri Ktut. Danghyang Nirartha lalu menjawab, "baiklah kalau demikian, dinda diam disini saja bersama-sama dengan puteri kita Ni Ayu Swabhawa, ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting, dan adinda boleh menjadi "Bhatari Dalem Ktut" yang akan menjadi junjungan dan disembah orang-orang di desa ini. Desa bersama orang-orang yang ada disini akan kanda "Pralina" (hanguskan), sehingga tidak dapat lagi dilihat oleh manusia biasa dan semua orang-orangnya menjadi orang halus (wong gamang) namanya orang "Sumedang", sedang daerah desa ini kemudian bernama "Mpu Laki", demikian kata Danghyang Nirartha. Setelah itu menggaiblah Mpu Isteri Ktut dan tidak dapat dilihat manusia lagi, dan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra-putrinya meneruskan perjalanannya dengan tujuan Gelgel untuk bertemu dengan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang bertahta dan memerintah di Bali saat itu.                                                    Begitulah di tempat moksa (menggaibnya) Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut itu kemudian dibangun sebuah bangunan suci (Pura atau Khayangan) yang diberi nama Pura Pulaki sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa. Selain itu disini dimuliakan yaitu Sri Patni Kaniten atau Mpu Isteri Ktut.                                                  
Lingkungan Pura Pulaki dibangun di atas tebing berbatu dan langsung menghadap ke laut. Sebelumnya lingkungan pura ini wujudnya sangat sederhana, akan tetapi setelah direnovasi dan diperluas dengan menggunakan bahan batu hitam. Lingkungan Pura ini kelihatan sangat agung dan sesuai dengan namanya yaitu Lingkungan Pura Agung Pulaki, daya tarik lingkungan pura ini yang menonjol adalah lokasi dan lingkungan pura. Bukit terjal yang berbatu dan kering serta laut membentang di depannya dan bukit tidak jauh di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung kecil memberikan suasana yang sangat menarik. Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, sering berkumpul di halaman pura karena adanya makanan yang diberikan oleh para pengunjung, menambah daya tarik lingkungan pura ini. Pura Pulaki ini sesungguhnya merupakan satu komplek yang terdiri dari lingkungan Pura Agung Pulaki dengan beberapa pesanakannnya yaitu lingkungan Pura Melanting, lingkungan Pura Kertha Kawat, Lingkungan Pura Pabean dan LIngkungan Pura Pemuteran. Pura-pura pesanakan ini terletak tidak jauh dari lingkungan Pura Agung Pulaki yang dapat dikatakan mengelilingi Pura Pulaki dengan jarak masing-masing sekitar satu setengah km. Apabila tiba waktunya "odalan" di lingkungan Pura Pulaki ini maka keseluruhan lingkungan pura-pura ini merupakan satu kesatuan upacara dengan pengertian seorang  umat  setelah melakukan persembahyangan  di  lingkungan pura-pura  pesanakannya. Lingkungan Pura Melanting, sebagai salah satu pesanakan lingkungan Pura Agung Pulaki, setelah direnovasi kelihatan sangat agung, bahkan secara fisik kelihatan lebih megah daripada lingkungan Pura Agung Pulaki, akan tetapi dari kedudukannya sebagai pura Pesanakan. Lingkungan Pura Melanting yang ada kaitannya dengan kemakmuran khususnya yang beraspek perdagangan sehingga lingkungan Pura Melanting banyak dikunjungi oleh para pengusaha dan pedagang, untuk bersembahyang dan memohon kemakmuran.

Minggu, 29 Juli 2012

Tirta Yatra ke Pura Rambut Siwi


Perjalanan kami kali ini ke pura -pura yang ada di bali barat dan bali utara, di mulai dari pura Rambut siwi 
yang terletak di kabupaten jembrana Pura Rambut Siwi terletak di pinggir pantai Selatan Pulau Bali bagian Barat yaitu di Desa Yeh Embang Kangin, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Di sebelah Utara pura lebih kurang 200 meter, terbentang jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk dimana terdapat penyawangan Pura Rambut Siwi. Di sini biasanya umat Hindu yang melintasi jalur perjalanan tersebut berhenti sejenak untuk menghaturkan sembah mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jarak dari kota Denpasar lebih kurang 78 km, perjalanan ke sana dapat dicapai dengan mobil atau sepeda motor. Dapat juga ke sana dengan menumpang kendaraan umum yang cukup banyak lalu lalang dari pagi hingga petang, karena itu tidak ada masalah sama sekali mengenai transportasi. Jika pengunjung menggunakan kendaraan bermotor, kendaraan tersebut bisa langsung diparkir di dekat (sebelah timur) pura. Lama perjalanan dari kota Denpasar sekitar 2 jam, dan dalam perjalanan banyak melalui jalan yang berkelok-kelok, menanjak naik-turun, sehingga banyak menyaksikan keindahan alam sepanjang perjalanan.

Sekilas Cerita tentang Pura Luhur Rambut Siwi.

Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota Negara. Bagaimana sejarah pura ini?ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu diantarkan masuk ke parahyangan.Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.Kisah lain, Dang Hyang Nirartha dalam perjalanannya di Bali sempat tinggal di Desa Gading Wani. Beliau mendengar di desa itu masyarakatnya sedang dilanda sakit keras. Bahkan, tidak sedikit yang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa itu berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita masyarakat. Karena itu pula, masyarakat berharap agar Dang Hyang Nirartha bisa tetap tinggal di desa itu.Sayang, Dang Hyang Nirartha tidak bisa memenuhi keinginan warga setempat, sebagai gantinya, beliau menghadiahkan sehelai rambutnya sebagai jimat untuk menolak wabah penyakit. Rambut inilah yang kemudian dipuja (Siwi) dan dibuatkan tempat suci sebagai tempat penyimpanan. Karena itulah pura tersebut dinamakan Pura Rambut Siwi.